To view online click hereView new colour renovation colour kits click here
To order a new 2010/2011 catalogue for $10 email me
To view online click here
Peraturan di sebuah travel biasanya mengharuskan calon penumpangnya untuk sudah tiba di pangkalan paling lambat 15 menit sebelum keberangkatan. Saya tahu itu, tetapi ternyata nikmatnya kasur membuat saya keterusan tidur. Ketika terbangun, ternyata waktu yang tersisa tinggal setengah jam sementara rumah saya jauh dari tempat keberangkatan. Saya pun buru-buru mandi dan langsung berangkat kesana. Ketika saya tiba, ternyata saya terlambat 5 menit, dan mobil travel sudah keburu berangkat. Gara-gara 5 menit itu saya kemudian harus menunggu 2 jam kemudian. Karena travel yang satu ini menuju area kota Jakarta lain, saya pun harus menyambung lagi dengan taksi di Jakarta dan harus mengeluarkan biaya hampir seratus lima puluh ribu. Gara-gara 5 menit telat saya harus membayar harga yang cukup lumayan. Kata terlambat memang bisa menimbulkan banyak masalah. Apa yang terjadi jika anda terlambat ke sekolah atau kampus, apalagi di saat ujian? Apa yang terjadi jika reaksi anda terlambat sedetik saja ketika mobil di depan anda tiba-tiba mengerem? Ada banyak hal yang akhirnya kita sesali hanya karena sebuah kata: terlambat. Dalam contoh keterlambatan saya di atas, masih untung itu bukanlah sebuah keterlambatan yang fatal akibatnya. Artinya saya masih punya kesempatan untuk mengambil jadwal keberangkatan lainnya. Ada keterlambatan-keterlambatan yang berakibat fatal dimana penyesalan tidak ada gunanya lagi, yang bisa menimpa diri kita jika kita terus membuang-buang atau menyia-nyiakan waktu.
Adik saya baru saja mendapatkan musibah kecelakaan ketika sedang mengendarai sepeda motor bersama temannya. Puji Tuhan ia masih selamat, meskipun mendapatkan tujuh jahitan di ubun-ubun kepalanya. Musibah sebenarnya bisa dihindari apabila ia tidak mengebut dan memakai helm. Akibat menghindari sebuah becak ia terpelanting ke jalan dan sebuah mobil mengerem tepat di depan kepalanya. Putaran ban ternyata masih kencang, dan ubun-ubun kepalanya pun terkikis oleh ban sehingga sobek cukup panjang. Bayangkan seandainya pengemudi mobil itu telat menginjak rem sepersekian detik saja, atau kurang dalam sedikit saja, kepalanya bisa remuk tergiling mobil itu. Saya bersyukur Tuhan masih memberi kesempatan baginya untuk hidup. Saat ini ia masih beristirahat untuk memulihkan luka-luka dan bengkak yang ia alami di sekujur tubuh.
Pemilihan jurusan di SMU tentu punya alasan tersendiri. Ada yang memang menggemari ilmu pengetahuan alam, bercita-cita ingin menjadi insinyur atau dokter, maka jurusan IPA pun dipilih. Berminat kepada ilmu sosial, atau merasa tidak sanggup untuk mempelajari ilmu alam, jurusan IPS pun dipilih. Dahulu saya memilih jurusan IPA, tapi mungkin alasan saya memilih itu cukup aneh kalau didengar. Saya memilih IPA justru karena tidak menyukai matematika, fisika dan kimia. Lalu mengapa saya memilih jurusan itu? Karena justru karena tidak suka saya ingin menantang diri saya untuk mendalami lebih jauh lagi. Jika karena saya tidak suka, lalu saya tinggalkan, bagaimana saya bisa belajar untuk menyukainya? Sebuah alasan yang aneh bagi orang, tapi tidak bagi saya, yang selalu tidak suka menyerah sejak kecil.
Tidak sedikit orang tua yang mengajarkan anaknya untuk tidak membuang-buang atau menyisakan makanan di piring mereka. Dan istri saya termasuk orang yang pernah mendapat didikan seperti itu dengan cukup keras. Ketika ia kecil, ia pernah mengambil makanan sangat banyak dalam satu piring, dan ibunya membiarkan hal itu. Ketika ia hanya menghabiskan sedikit, sang ibu kemudian memarahinya dan memaksanya untuk menghabiskan semuanya, meski kenyang atau apapun alasannya. Hal ini membuatnya kemudian belajar untuk mengambil secukupnya, tidak menumpuk makanan di piring lagi untuk kemudian dibuang ke tempat sampah.
Kemarin saya berkunjung ke rumah seorang teman baru. Ia memelihara dua anjing berukuran besar, satu golden retriever dan satu boxer. Ketika saya datang, saya melihat suaminya sedang kewalahan menahan laju kedua anjing itu dengan tali. Ia terseret oleh kedua anjing berukuran besar itu yang tampaknya ingin lepas bermain sepuasnya di jalan. Ketika kedua anjing itu masuk ke rumah dan tali dilepaskan, si boxer tiba-tiba menghambur dan menerjang saya. Maka teman saya pun segera menahan tubuh si boxer itu dengan sekuat tenaga. Ia meronta dan berusaha lepas, sehingga akhirnya harus diikat di luar. Sementara anjing satunya ternyata mampu duduk manis meski tanpa tali sekalipun. Dua anjing yang sama-sama berukuran besar, tetapi tampil beda. Yang satu bisa dipercaya tanpa perlu tali sedang yang satu harus diikat agar tidak membuat masalah.
Menegakkan keadilan demi hukum. Betapa seringnya kita mendengar kalimat ini. Seharusnya kalimat ini bisa menjadi pegangan setiap warga negara untuk hidup dalam situasi yang berkeadilan dilindungi undang-undang. Tetapi nyatanya ada banyak celah di mana hukum dunia ini bisa diputarbalikkan. Orang yang salah bisa mendapat kebebasan, sebaliknya orang-orang yang benar bisa menjadi kambing hitam, bahkan mendapat hukuman penjara dengan tuduhan atas sesuatu yang tidak mereka lakukan. Kasus-kasus seperti ini terjadi di mana saja, tidak hanya di negara kita. Hukum memang bisa diputarbalikkan, keadilan di dunia memang semu sifatnya. Tidak jarang pula berbagai pemutarbalikkan fakta seperti ini bisa menyulitkan bahkan menghancurkan hidup seseorang. Ditangkap karena berbuat baik, itu terjadi di negara kita dan berbagai tempat lainnya. Mau mengungkap korupsi malah dipecat, atau bahkan diperkarakan ke pengadilan. Hal-hal seperti ini membuktikan bahwa sistem hukum dan keadilan dunia belum sempurna, bahkan mungkin tidak akan pernah bisa sempurna.
Sungguh sulit mencari orang yang benar-benar bisa dipecaya saat ini. Betapa sering kita mendengar keluhan seperti itu. Di rumah kita mungkin mendengarnya dari orang tua kita, di kantor juga demikian. Atau jangan-jangan kita sendiripun sulit dipercaya. Lembaga-lembaga pengawas terus berdiri di mana-mana, tapi lembaga-lembaga seperti ini pun tidak 100% bersih. Ketika diawasi mungkin pencurian atau korupsi bisa ditekan, tetapi seperti tikus, mereka yang sudah kotor pikirannya akan selalu mampu mencari lubang atau celah baru. Begitu menemukan jalan baru, atau ketika tidak diawasi, maka penipuan akan kembali terjadi. Hari-hari ini orang memang lebih takut terhadap manusia ketimbang Tuhan. Mereka lebih takut hukuman di dunia ketimbang hukuman yang kekal kelak menimpa mereka yang berlaku curang. Segala bentuk penipuan atau kejahatan rasanya akan aman apabila tidak ada orang yang melihat. Itulah sebabnya saya menyimpulkan bahwa ujian yang sebenarnya dari siapa diri kita akan tampak ketika kita sedang sendirian.
Blue, itu adalah sebutan untuk warna biru dalam bahasa Inggris. Tapi selain warna, kata blue juga dipakai sebagai kata yang mengekspresikan kesedihan. Kita mengenal sebuah genre musik bernama blues, yang nyatanya berasal dari curahan kepedihan para budak berkulit hitam yang dahulu dijadikan budak. Hidup yang penuh penderitaan, kerap mendapat siksaan dan sebagainya membuat mereka kemudian mencurahkan perasaan mereka ke dalam sebuah bentuk musik yang tadinya "asal", dan inilah kemudian yang menjelma sebagai musik blues. Musik sebagai sebuah medium ekspresi ternyata mampu menjadi tempat curahan hati dan perasaan kita. Kerap kali lewat lagu kita bisa bergembira, tertawa bahkan menangis mengeluarkan kesedihan yang ada dalam hati kita.
Bagaimana kita mengekspresikan kasih? Ada banyak cara tentunya. Dengan menunjukkan perhatian sepenuhnya, dengan memberi sekuntum bunga, cokelat atau hadiah-hadiah lain, dengan ucapan, pelukan, dan banyak lagi bentuk-bentuk espresi kasih yang bisa kita lakukan. Sulit bagi kita untuk bisa mentransfer perasaan secara langsung kepada orang lain, dan karenanya kita perlu berbagai bentuk ekspresi seperti di atas sebagai perantara untuk menyampaikan perasaan kasih sayang kita kepada seseorang. Manusia pada umumnya membutuhkan kasih untuk bisa hidup. To love and to be loved, mengasihi dan dikasihi, mencintai dan dicintai. Itu seringkali membuat kita lebih kuat dan tegar apabila kita miliki. Semua itu tentu baik. Tetapi kita seharusnya bisa meningkatkan satu langkah lagi lebih tinggi dengan adanya bentuk kasih yang sudah dicurahkan Tuhan ke dalam hati setiap kita lewat Roh Kudus, seperti yang disebutkan dalam Roma 5:5. Mengasihi orang baik itu mudah. Tapi mampukah kita mengasihi seorang musuh? Mampukah kita untuk masih peduli bukan saja kepada dirinya, tetapi kepada keluarganya?
Apa yang kita lakukan ketika melihat musuh kita jatuh? Sebagian besar orang akan bersorak riang. Mengapa tidak, bukankah dia sudah menyakiti kita? Sebagian orang malah akan terus mengutuki atau mendoakan yang jelek-jelek terhadap musuhnya. Ini sebuah perilaku yang sudah menjadi hal yang umum di mata dunia, di mana anak-anak Tuhan sekalipun sering terjebak pada masalah yang sama. Rasa sakit hati akan sangat mudah mengarahkan kita kepada dendam, sehingga kita akan merasa sangat senang apabila musuh kita jatuh tanpa kita harus bersusah payah melakukan sesuatu.
Semakin lama berjalan dalam hidup semakin sadar pula saya bahwa rasa rendah diri atau minder berlebihan kerap menggagalkan rencana-rencana besar dalam hidup kita. Saya pernah mengalaminya dahulu, dan sekarang sering bertemu dengan orang-orang seperti ini. Betapa seringnya kita mendengar kalimat-kalimat seperti "ah, saya cuma tamatan SD, bisa apa?", "Saya cuma orang kecil, bagaimana mungkin saya bisa sukses?", "I'm a loser.." dan sebagainya. Padahal Tuhan tidak merancang manusia asal-asalan tanpa rencana yang indah. Itu sering dilupakan orang dan mereka lebih memilih untuk tenggelam ke dalam kekurangan-kekurangan mereka ketimbang memaksimalkan potensi-potensi mereka miliki. Apa yang membuat mereka gagal sebenarnya bukanlah kekurangan mereka, tetapi justru rasa rendah diri yang berlebihan itu. Ada banyak orang cacat yang kemudian tampil mencengangkan kita lewat buah karya mereka. Rendah diri bukannya membantu, tetapi malah akan merugikan diri kita sendiri.
"Open the Eyes of My Heart" adalah sebuah lagu rohani yang sudah sangat terkenal. Ada banyak penyanyi yang sudah membawakan lagu ini diantaranya Hillsong United dan Michael W Smith. LAgu ini ditulis oleh Paul Baloche yang terinspirasi dari doa rasul Paulus buat jemaat Efesus agar mata hati mereka dibuat Tuhan menjadi terang. "Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus.." (Efesus 1:8). "Sesungguhnya ini kerinduan hati kita semua.." kata Paul pada suatu kali. "Saya sudah lama mengikut Tuhan tapi itu tidak pernah cukup. Saya ingin mengenalNya. saya ingin melihat Tuhan. Saya ingin bangun setiap pagi dengan merasakan kehadiranNya dalam hidup saya. Saya ingin melihat KerajaanNya hadir di dunia, hingga saya bisa menjadi bagian dari KerajaanNya dan bisa melakukan sesuatu untukNya." Itulah kerinduan Paul, dan berasal dari ayat Efesus 1:8 itu kemudian lagu "Open the Eyes of My Heart" ia tulis dan menjadi terkenal di seluruh dunia.
Ketika menulis renungan kemarin saya ditemani secangkir kopi hangat yang saya letakkan di lantai. Karena keasikan menulis kopi menjadi lupa saya nikmati. Dan ketika saya teringat akan kopi itu, saya pun melihat ternyata cangkir kopi itu sudah dirubungi semut. Saya pun segera memindahkannya ke atas. Satu kali angkut bagi saya, tetapi pasti menjadi sangat merepotkan bagi semut-semut itu untuk kembali mendatangi cangkir. Bayangkan tadinya sudah tepat di depan mata, tapi sekarang berpindah jauh ke atas. Tetapi semut-semut itu ternyata tidak putus asa. Perhatian saya pun kemudian beralih memperhatikan perilaku semut-semut itu. Sebuah perjalanan panjang dari lantai, ke terali pun mereka jalani untuk bisa kembali mencapai gelas. Benar-benar usaha yang luar biasa. Saya pun tertegun.. betapa hebatnya usaha semut-semut ini. Saya berpikir, alangkah baiknya seandainya kita bisa memiliki sedikit saja dari ketekunan dan kegigihan semut ini. Tidak bersungut-sungut, tidak mengeluh dalam menghadapi problema hidup, tetapi terus berjuang dengan semangat yang tidak mudah patah.
Seperti apa sih prajurit yang dikatakan terbaik itu? Itu sebuah pertanyaan yang saya berikan ketika pada suatu ketika saya berbincang-bincang santai dengan seorang perwira. Apakah seperti yang kita lihat di film-film, berani mati, jagoan dan tidak terkalahkan di medan pertempuran, tetap gagah berani bertempur meski terluka parah? Apakah prajurit terbaik itu adalah prajurit yang paling hebat mengetahui strategi perang, yang menguasai senjata paling banyak? Tetapi ternyata bukan itu. Menurut tentara yang menjadi teman ngobrol saya itu, seorang prajurit terbaik dilihat bukan dari heroik atau kehandalannya tetapi dari ketaatan mereka terhadap perintah atau instruksi komandannya. Semua yang saya sebutkan tadi jelas baik, tetapi lebih dari itu semua kepatuhan atau ketaatan mengikuti atasan sesuai garis komando, itulah yang terbaik. Artinya mereka harus patuh ketika disuruh berperang hingga titik darah penghabisan, sebaliknya mereka harus taat untuk mundur dari pertempuran jika itu yang menjadi instruksi komandannya. Ketaatan tanpa banyak tanya, tanpa protes, tanpa berbantah, itu menunjukkan kualitas terbaik dari seorang prajurit.