===============
"Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman."
Apa yang kita butuhkan untuk bisa bertahan hidup? Kebutuhan primer yaitu sandang, pangan dan papan (tempat tinggal) mungkin akan menjadi jawaban kita. Itu memang kebutuhan yang paling mendasar yang akan menjadi ukuran apakah kita sudah hidup dengan layak atau tidak. Karena itulah maka ketiganya disebut sebagai kebutuhan yang primer, yang utama. Bisakah anda membayangkan hidup tanpa makan? Atau tidak punya baju, lalu tidak punya tempat tinggal? Meski mungkin kita bisa bertahan hidup dengan menumpang, tetapi kita tidak bisa selamanya menumpang di rumah orang lain. Tetapi selain ketiga hal ini, Alkitab menyebutkan satu hal lain yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan menjadi ukuran dari kehidupan seperti apa yang kita jalani dalam status kita sebagai orang percaya. Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa ternyata kebutuhan primer saja tidaklah cukup untuk hidup sebagai orang benar. Untuk sekedar hidup di dunia mungkin ya, tetapi untuk dapat hidup sebagai orang benar, nanti dulu. Alkitab mengatakan ada satu hal lagi yang dibutuhkan untuk hidup sebagai orang benar. Dan itu adalah iman.Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma nengatakan: "Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman." (Roma 1:17). Ia menyampaikan sebuah pesan penting agar mereka, dan juga kita hidup oleh iman. Apa artinya hidup oleh iman ini? Tanpa iman, maka saya tidak akan hidup. Itu jelas. Tetapi apa yang digambarkan sebagai iman bukanlah berbicara hanya sekedar selamat dari lubang jarum saja. Benar, kita selamat oleh kasih karunia Allah, tapi lihatlah bahwa iman sangatlah berperan di dalamnya. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah." (Efesus 2:8). Tuhan memberi kasih karuniaNya untuk menyelamatkan kita, tetapi semua akan sangat tergantung dengan iman yang ada pada kita. Iman akan sangat menentukan bagi keselamatan kita kelak, tetapi untuk di dunia pun iman akan sangat menentukan seperti apa hidup yang kita jalani. Orang benar, itu hidup oleh iman. Artinya iman sangat menentukan langkah orang untuk menjadi orang benar.
Iman bukan hanya berarti sekedar menerima Yesus, and that's it. Titik. kita tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Yang penting saya menerima Yesus, bagaimana saya hidup itu lain soal. Hidup boleh seenaknya, tidak perlu memperhatikan atau mengasihi orang lain, terus diombang-ambingkan rasa takut atau kuatir. Bukan seperti itu. Lewat Paulus kita bisa mendapatkan bambaran yang jelas bahwa iman akan sangat berperan dan harus ada dalam setiap sisi kehidupan kita sehari-hari. Kata "hidup" dalam Roma 1:17 di atas mengacu kepada sebuah proses, daya, atau kekuatan yang berkelanjutan yang harus ada untuk menopang hidup kita. Dengan demikian, kapan, bagaimana dan dimanapun kita harus hidup oleh iman. Ketika bekerja, belajar, berbelanja, bertetangga, berteman, saat kita mengambil keputusan, hingga disaat-saat kesabaran kita diuji, mendapat perlakuan tidak adil atau ketika kita mulai kehilangan kesabaran, iman akan menentukan bagi kita. Iman memberi hidup bagi kita, iman akan sangat penting apakah kita hidup sebagai orang benar atau tidak.
Ambil satu contoh yang sederhana saja. Apakah kita bisa tidur dengan nyenyak dengan rasa damai di malam hari atau kita kerap gelisah, tidak bisa tidur karena takut dalam menghadapi sesuatu? Apakah rasa damai sukacita ada dalam diri kita ketika kita berhadapan dengan orang lain, termasuk orang-orang yang sangat sulit dan selalu memancing emosi sekalipun, atau kita terus membiarkan diri kita dikuasai emosi? Dalam contoh tidur itu, kita bisa melihat bagaimana hasil iman yang bekerja dalam diri orang benar lewat kata-kata Daud berikut: "Aku membaringkan diri, lalu tidur; aku bangun, sebab TUHAN menopang aku!" (Mazmur 3:6). Seperti itulah iman bekerja dalam kehidupan sehari-hari kita. Artinya, iman bukan hanya sekedar berbicara mengenai sekedar lolos dari neraka dan masuk surga saja. Tidak. Kualitas hidup akan sangat tergantung dari seberapa jauh iman bekerja dalam diri kita. Bacalah ilustrasi tentang para saksi iman dalam Ibrani 11:1-40 dan kita bisa mendapat gambaran yang lebih jelas. Ada banyak tokoh-tokoh yang bisa menjadi teladan tentang bagaimana kita hidup. Penulis Ibrani sudah menuliskan begitu banyak contoh orang-orang yang hidup lewat iman lalu berhasil mencapai hidup yang berkemenangan dengan iman mereka. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1), begitulah Penulis Ibrani memulai uraiannya tentang para saksi iman ini. Sebuah defenisi iman yang seharusnya mampu mengubah setiap sendi kehidupan kita, termasuk didalamnya bagaimana cara kita memandang hidup dan masa depan kita.
Iman seharusnya berada dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam setiap hal yang kita lakukan, putuskan atau jalani. Sebuah kualitas hidup orang benar sesungguhnya sangatlah ditentukan oleh seberapa besar iman mengisi hidup mereka. Apakah kehidupan yang penuh ketakutan, kebimbangan atau hidup yang dipenuhi damai sukacita tanpa tergantung situasi yang tengah dihadapi, apakah hidup dengan sikap positif atau mudah berburuk sangka, apakah hidup dengan ketulusan dalam mengasihi atau pamrih, semua akan bermula dari iman seperti apa yang ada dalam diri kita. Kebutuhan primer bisa menjamin hidup setiap orang, tetapi jika ingin hidup berkualitas sebagai orang benar, maka tidak bisa tidak, itu haruslah bersumber kepada iman. Orang benar, kata Firman Tuhan, itu hidup oleh iman. Sebaliknya orang yang tidak mengindahkan itu akan menjadi orang-orang yang tidak disenangi Tuhan. "Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya." (Ibrani 10:38). Jika ada yang bertanya dari mana iman itu bisa timbul, maka Paulus mengatakan pada ayat sebelum ayat bacaan kita hari ini: "Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani." (Roma 1:16), atau ingat pula bahwa "..iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (10:17). Dimana letak kita hari ini? Seperti apa iman yang ada di dalam hidup kita? Mari pastikan bahwa iman tengah memimpin kita dalam setiap sisi kehidupan, karena orang benar itu hidup oleh iman.
Iman timbul dari pendengaran firman Kristus, dan orang benar akan hidup oleh iman
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Seorang teman yang hobi mendaki gunung bercerita tentang pengalaman-pengelamannya dalam mendaki bersama klub pecinta alamnya. Ia berverita bahwa proses mendaki itu begitu melelahkan dan berat. Oksigen bisa tipis sekali di ketinggian sehingga bernafas bisa menjadi sangat sulit. Jalan yang dituju mendaki, berbatu-batu dan terkadang sangat terjal, belum lagi terkadang harus memanjat dan harus siap menghadapi banyak resiko binatang buas dalam perjalanan. Sama sekali tidak mudah untuk bisa mencapai puncak gunung katanya. Bagi orang yang memiliki masalah dengan pernafasan seperti asma atau rasa takut akan ketinggian, mendaki gunung sedikit saja sekalipun bisa jadi hal yang tersulit untuk dilakukan. Tetapi ia kemudian berkata, begitu sampai ke puncak gunung, pemandangan yang luar biasa indah membuat semua kesulitan itu tidak lagi berasa apa-apa. "Begitu menakjubkan..pesonanya luar biasa, dan itu tidak dilihat oleh semua orang. Hanya yang mau bersusah payah mendakilah yang bisa menikmatinya." katanya bangga. Di puncak gunung ia lupa akan kesusahan mendaki dan segala sakit yang ia rasakan. Di puncak gunung ia melihat sebuah keindahan yang tidak dilihat oleh semua orang. Di puncak gunung, ia bisa merasakan kemuliaan Tuhan, bahkan mungkin memandang dari sebuah jarak pandang atas seperti apa yang dilihat Tuhan ketika Dia memandang ciptaan-ciptaanNya di dunia ini.
Secara teori semua orang mengajarkan untuk hidup jujur, tetapi lucunya dalam banyak keadaan dunia justru cenderung menolak kejujuran. Ada seorang teman yang justru tersingkir dari jabatannya justru karena ia memilih untuk tetap jujur. Ia tidak mau ikut-ikutan melakukan penggelembungan dana bersama pimpinan dan rekan-rekannya, dan akibatnya ia pun disingkirkan. Betapa mahalnya harga kejujuran, begitu katanya, dan ia pun sempat mempertanyakan apakah kejujuran sudah merupakan sebuah nilai yang tidak bermakna apa-apa lagi, yang malah bisa merugikan ketika dilakukan. "Masih adakah orang yang menghargai kejujuran?" katanya. Demikianlah potret yang kini semakin sering kita saksikan. Kita harus pintar mengikuti arus agar bisa bertahan pada posisi dalam karir, berbohong, menutupi kebenaran atau ikut melakukan penyelewengan. Semakin lama kejujuran semakin menjadi barang langka yang meski selalu diajarkan dimana-mana tetapi pada kenyataannya semakin dipinggirkan. Di mata dunia mungkin seperti itu, tetapi ingatlah bahwa kejujuran yang sekecil apapun memiliki nilai yang sangat tinggi di mata Tuhan.
Saya selalu merasa kagum melihat beberapa keluarga yang rutin beribadah di gereja saya dengan tekun membawa orang tua mereka yang sudah jompo. Salah satunya baru terkena stroke dan memiliki kesulitan untuk menelan air liurnya. Tetapi ia tetap bersemangat, dan keluarganya dengan telaten menyeka air liurnya yang kerap mengalir keluar. Pemandangan mengharukan ini kerap menjadi perhatian saya, karena ini bukanlah pemandangan yang biasa kita lihat sehari-hari. Semakin lama orang yang peduli terhadap orang tuanya semakin sedikit. Mereka merasa terlalu sibuk untuk merawat orang tuanya, risih membersihkan kotoran-kotoran, merasa malu dilihat orang "menenteng-nenteng" orang tuanya atau alasan-alasan lain. Tidak jarang pula pasangan mereka menentang karena tidak mau direpotkan oleh kehadiran orang tua yang sakit-sakitan di rumahnya. Betapa miris melihat nasib para orang tua yang tidak dikehendaki anaknya lagi. Tidak jarang saya mendengar para orang tua seperti ini berkata lebih ingin mati saja daripada menjadi masalah bagi hidup anak-anaknya, dan merasa kecewa melihat mereka tidak lagi disayangi. Panti jompo pun akhirnya menjadi tempat "terakhir" bagi mereka untuk menghabiskan sisa hidupnya. Tidak ada lagi anak atau cucu yang menyambangi, tidak ada lagi yang peduli. Jika seorang anak saja sanggup untuk tidak mempedulikan sisa umur orang tuanya sendiri, bagaimana dengan menantu? Tidak jarang ada jurang membentang diantara mertua dan menantu, apalagi di zaman sekarang ketika orang yang berusia lebih muda sudah tidak lagi mementingkan untuk bersikap hormat kepada orang yang lebih tua.Karena itulah melihat keluarga-keluarga yang masih menyayangi orang tuanya yang sudah tinggal sendirian dan mau repot-repot membawa mereka untuk menyembah Tuhan bersama-sama. Tidak saja mengharukan untuk kita lihat, tetapi Tuhan pun sangat menghargai hal ini.
Pernahkah anda membayangkan bagaimana mungkin menghidupi keluarga hanya dengan penghasilan Rp 250 ribu dalam tiga bulan terakhir? Itulah yang sedang saya alami belakangan ini. Kampus dimana saya biasanya mengajar kolaps karena manajemen yang buruk sehingga saya pun berpindah ke tempat lain. Sebagai orang yang baru saya tentu harus memulai lagi dari awal dan masih belum mendapat banyak kesempatan untuk mengajar. Pendapatan hanya sebanyak itu selama tiga bulan tentu saja terlihat mengerikan. Tetapi percayakah anda bahwa Tuhan ternyata tidak membiarkan kami berkekurangan? Entah dari mana saja pertolongan Tuhan datang, dan nyatanya kami sama sekali tidak menderita meski secara logika seharusnya saya dan keluarga bakal morat marit dengan kenyataan yang ada. Tuhan sanggup melakukan banyak hal diluar logika. KekuasaanNya tak terbatas. Dan yang satu hal yang jelas, dalam situasi seperti ini saya dan keluarga melihat langsung bagaimana Tuhan menepati janji-janjiNya. Dalam keadaan seperti sekarang justru saya mendapat kesempatan langsung untuk melihat bagaimana Tuhan bekerja dengan ajaib. Ditengah kesulitan, dalam kelemahan, kuasa Tuhan justru menjadi sempurna.
Ingat kisah tragis Arie Hanggara? Anak malang berusia 8 tahun ini tewas akibat penyiksaan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri dan menjadi berita heboh pada saat kejadiannya di tahun 1984. Seperti anak-anak lainnya mungkin Arie memiliki sifat bandel yang masih harus diarahkan. Tetapi alih-alih diarahkan, ia malah mendapat hukuman-hukuman fisik lebih dari yang sanggup ia tanggung. Ia menjadi tempat pelampiasan kemarahan ayahnya yang kecewa pada hidupnya sendiri hingga diluar batas sampai pada akhirnya Arie tidak lagi sanggup menahan siksaan lebih lama. Penyesalan datang menyeruak begitu melihat Arie terbujur kaku, tetapi semua sudah terlambat. Kasus ini mungkin yang pertama diblow up besar-besaran di media massa pada saat itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika semakin banyak orang yang depresi dan tidak siap untuk mendidik anak, kasus-kasus "Arie Hanggara" lainnya pun kerap menghias berbagai sudut harian. Orang tua yang menyiram minyak tanah dan menyulut anaknya hidup-hidup, pemukulan keras bahkan dengan benda-benda pada bagian tubuh yang rawan, semua itu kita saksikan terjadi dimana-mana. Ada anak-anak yang dipukul dengan rotan berulang-ulang sampai rotannya patah di badan mereka. Bayangkan hal seperti itu dilakukan kepada anak yang masih sangat lemah dan belum mengerti banyak tentang hidup. Bagi saya yang belum dikaruniai anak hingga hari ini, rasanya miris sekali melihat betapa orang-orang tua seperti itu tidak lagi memiliki rasa syukur dan tanggung jawab terhadap anugerah besar yang telah mereka terima.
Serangan hama tanaman membuat beberapa pohon di halaman rumah saya mati. Semua berjalan dalam waktu singkat. Awalnya daun-daunnya terlihat layu, saya pun berpikir mungkin itu hanya karena cuaca atau kurang disiram atau dipupuk. Ternyata di belakang daun terdapat bintik-bintik putih seperti jamur. Dan bukan saja di daun, setelah diperiksa pada akar-akarnya pun terdapat penyakit yang sama. Maka beberapa pohon pun habis menjadi botak kemudian mati. Adakah gunanya mempertahankan tanaman yang tinggal batang kering saja? Saya pun terpaksa mencabutnya dari pot lalu membakarnya. Sangat disayangkan memang, karena saya tadinya berharap bisa mendapatkan buah-buah yang manis dan segar dari pohon-pohon ini, namun serangan penyakit membuat saya harus merelakan beberapa pohon itu, dan untuk lain kali mengawasi dengan hati-hati setiap sisi dan lekuk daun sebelum kejadian yang sama terjadi lagi.
Pernahkah anda merasakan bahwa usaha keras yang anda lakukan sepertinya tidak membawa hasil seperti yang anda harapkan? Pernahkah anda merasakan bahwa meski anda sudah mati-matian berbuat sesuatu seperti dalam pekerjaan atau belajar misalnya, tetapi semua terasa sia-sia? Ada masa-masa dimana kita bisa merasakan hal seperti itu. Saat ini saya sedang merasakannya. Segenap tenaga, pikiran dan usaha sudah saya kerahkan, namun hasilnya tidak juga sepadan dengan pengorbanan saya. Ibarat menanam benih di dalam sebuah pot tetapi tunas tidak kunjung tumbuh keluar dari tanah. Hari ini saya terpaksa tidak tidur karena pekerjaan baru saja selesai sementara pagi-pagi benar sudah ada pekerjaan lain yang menanti. Terlalu tanggung untuk tidur, bisa-bisa saya tidak terbangun pada saatnya. Waktu yang sedikit ini sedang saya pakai untuk menulis sebuah renungan yang berasal dari apa yang saya pikirkan saat ini. Secara kasat mata hasil belum terlihat, tetapi iman saya menolak untuk menyerah atau kecewa. It's just a matter of time, I believe on that. Kalaupun tidak ada hasilnya, yang penting saya sudah melakukan yang terbaik, seperti melakukannya untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Betapa mudahnya mendapat teman di kala senang, tetapi begitu sulit mencari seorangpun dikala susah. Itu dialami begitu banyak orang, dan saya pun pernah mengalaminya. Ketika kita sedang sukses, orang pun berdatangan dengan sanjungan-sanjungannya, tidak jarang pula mereka membawa buah tangan dan menunjukkan sikap sangat manis. Tetapi ketika kita terjatuh, perlahan tapi pasti mereka pun mulai menjauh meninggalkan kita. Seorang artis senior pernah bercerita mengenai pengalamannya akan hal ini kepada saya. "Habis manis sepah dibuang", katanya. Jangankan menolong, untuk mengenal saja mereka sudah enggan. Betapa bedanya perilaku mereka dahulu ketika saya masih di atas dengan saat ini ketika saya sudah tidak ada apa-apanya lagi. Miris memang, tetapi begitulah perilaku banyak manusia yang hanya baik ketika ada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya. Tidak tertutup kemungkinan kita pun pernah atau bahkan masih menunjukkan sikap seperti itu. Ketika telepon seluler berdering, kita akan melihat dahulu siapa yang menghubungi, dan akan memilah-milah yang mana yang mau dijawab, mana yang mau diabaikan, atau dijawab seadanya saja dengan dingin. Maka ada istilah pilih kasih, tergantung standar kita, tergantung ukuran kita.
Tanpa diketahui menderita sakit, tiba-tiba istri seorang gembala cabang di gereja saya dipanggil pulang ke rumah Bapa di Surga. Semua berlangsung begitu cepat, diawali keluhan pening tetapi beberapa jam kemudian beliau sudah tiada. Bisa dibayangkan kepergian mendadak pasti mengguncangkan suami dan anak-anak yang ditinggalkan. Sepintas mungkin kita bisa berpikir betapa tidak adilnya Tuhan mengambil kebahagiaan dari hidup hambaNya. Tetapi apakah itu yang dirasakan oleh bapak Pendeta? Tidak. Dia sudah kembali aktif melayani dalam waktu yang tidak terlalu lama. Beliau pasti kehilangan, itu pasti. Tetapi beliau pun menyadari bahwa semua itu merupakan hak Tuhan, dan beliau tahu harus merelakan kepergian istrinya tanpa harus menyalahkan Tuhan. Bagaimana ia sanggup? Sebuah ayat yang tidak pernah gagal menjadi kekuatan bagi saya pribadi pun ia hadirkan, dan itu saya jadikan ayat bacaan hari ini: "TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku." "The Lord is my Sheperd, I shall not lack." (Mazmur 23:1).
Perkembangan teknologi membuat orang bisa terhubung satu sama lain dengan semakin mudah meskipun dipisahkan oleh jarak yang jauh. Dengan telepon genggam kita bisa dihubungi dan menghubungi kapan saja, tidak seperti dulu ketika kita harus berada di rumah, kantor dan sebagainya yang artinya berada dekat dengan pesawat telepon yang terpasang disana. Pesan singkat atau SMS pun merupakan sistem yang murah meriah untuk digunakan. Adanya jenis-jenis gadget yang lebih pintar seperti Blackberry membuat penggunanya lebih mudah lagi berinteraksi satu sama lain. Hanya dengan bertukar pin, kita pun bisa berhubungan tanpa biaya. Begitu mudah, begitu murah. Tetapi untuk bisa terhubung dengan orang yang kita tuju tetap tergantung dari kesediaan pihak kedua untuk menerima dan membalas kontak kita kepada mereka. Sebab meski teknologi memungkinkan, jika orang yang dihubungi tidak mau mengangkat teleponnya atau tidak membalas pesan kita, maka tidak akan ada hubungan yang tersambung. Ada banyak orang yang mungkin terlalu sibuk sehingga tidak mau membalas sambungan yang masuk kepadanya. Ada yang pilih-pilih, ada pula yang enggan diganggu. Telepon setiap saat bisa diletakkan pada posisi silent atau dimatikan total sehingga hubungan dengan kontak-kontak dalam telepon seluler pun terputus. Kita bisa berbicara kepada mereka, namun semua tergantung dari mereka apakah mereka bisa dihubungi dan berkenan merespon atau tidak.
Pernahkah anda mengalami komputer yang semakin lama menjadi semakin berat dan lambat? Biasanya masalah ada pada processor yang menjadi panas atau dikenal dengan istilah overheat. Processor yang panas akan mengakibatkan kinerja komputer menjadi menurun, proses berjalan lambat dan berat untuk dipakai, bahkan pada suatu ketika komputer pun akan sering mati sendiri. Ada beberapa cara untuk mengatasinya. Yang pertama, kita harus memastikan bahwa kipas tidak tertutup debu tebal dan masih berputar dengan normal. Atau bisa juga dengan menambahkan kipas pada dudukan laptop yang banyak dijual di toko-toko komputer apabila anda menggunakan laptop, netbook dan sebagainya. Satu kesimpulan yang bisa kita petik dari sini adalah, hawa panas itu akan mengakibatkan turunnya kinerja komputer dan bisa membuat kerusakan pada suatu ketika, dan solusinya adalah dengan mendinginkan kembali processor sebagai pusat untuk mengontrol dan memproses kerja sebuah komputer.